BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Keberadaan
kawasan hutan dalam suatu wilayah merupakan bagian dari ruang wilayah provinsi
maupun kabupaten/kota yang bersangkutan sehingga kebijakan penataan ruang
wilayah provinsi dan kabupaten/kota akan memberikan implikasi luas terhadap
keberadaan kawasan hutan tersebut. Pencapaian keselarasan pemanfaatan ruang
yang berkelanjutan memerlukan suatu arahan berupa kebijakan penataan ruang yang
bersifat nasional dan wajib (mandatory) untuk diterapkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan nasional maupun perjanjian atau konvesi
internasional yang bersifat mengikat. Di
Indonesia, undang-undang (UU) pertama yang mengatur tata ruang adalah UU No. 24
tahun 1992, tentang penataan ruang, yang diikuti dengan berbagai aturan
pelaksanaannya baik berupa peratuan pemerintah (PP), peraturan presiden,
peraturan menteri, peraturan daerah, maupun peraturan yang lebih rendah dari
itu. Pada tahun 2007, UU No.24 tahun 1992 diubah menjadi UU No.26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Perkembangan penataan ruang di Indonesia belum diikuti
dengan kajian khusus secara hukum; kalaupun ada masih bersifat serpihan,
parsial, dan tidak utuh menyeluruh.
Adanya
otonomi daerah dan pemberian kebebasan kepada daerah untuk mengatur daerahnya
sendiri dari segi administrasi, dipandang sebagai suatu langkah kebijakan yang
baik. Namun apabila dilihat dari sudut penataan ruang, hal ini justru mulai
memunculkan permasalahan baru. Sebagai contoh, banyak lahan yang rusak akibat
dari pemanfaatan hutan oleh pemegang HPH/IUPHHK, baik hutan alam maupun hutan
tanaman dan hal tersebut mendorong pemerintah daerah untuk mengubah fungsi
kawasan hutan dimaksud. Pelaksanaan penataan ruang kawasan hutan diatur oleh UU
No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang lebih dikenal dengan istilah “Tata
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)”. Adapun penataan ruang wilayah provinsi (RTRWP)
secara keseluruhan dalam pelaksanaannya diatur dalam UU No. 26 tahun 2007, yang
di dalamnya termasuk pengaturan
terhadap kawasan hutan. Oleh karenanya diperlukan adanya suatu paduserasi
antara UU No.41 tahun 1999 (TGHK) dengan UU No.26 tahun 2007 (RTRWP), baik
dalam ketentuan peraturan pelaksanaan dibawahnya maupun detail di dalam
implementasinya.
Pemberlakuan
UU No. 26 tahun 2007 dan PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional telah mendorong seluruh provinsi di Indonesia untuk melakukan penyesuaian (revisi) RTRWP. Hal
tersebut dipicu oleh adanya ketentuan batas waktu penyelesaian revisi RTRW
selama 2 tahun untuk RTRWP dan
3 tahun untuk RTRWK terhitung sejak pemberlakuan UU 26 tahun 2007 tanggal 26
April 2007. Oleh karena itu, kajian terkait dengan proses penataan ruang
wilayah dan kawasan hutan sangat diperlukan terutama dalam mengkaji sejauhmana
kebijakan yang ada dapat menjawab semua permasalahan dalam proses paduserasi
kawasan hutan (mekanisme, tatacara, dan persyaratan dalam proses perubahan
fungsi kawasan hutan) serta gap di dalam implementasi peraturan
tersebut.
B. Ruang
Lingkup
Ruang
Lingkup Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Kabupaten/Kota
(RTRWK) sangat terkait dengan penataan dan keberadaan kawasan hutan. Penyusunan
RTRWP masih menyisakan persoalan terkait dengan penyelesaian yang
berlarut-larut terhadap usulan revisi dari beberapa pemerintah daerah provinsi.
Oleh karena itu, kajian tentang
permasalahan RTRWP ini menjadi penting dan relevan untuk membantu
penyelesaiannya. Tujuan dari kajian ini adalah menelaah kebijakan penataan
ruang yang ada, mengidentifikasi permasalahannya dan menyusun strategi
penyelesaian masalahnya. Sebenarnya sudah tersedia perangkat peraturan dan
kebijakan penataan ruang wilayah dan kawasan hutan, namun masih perlu
pengkajian lebih lanjut terkait dengan harmonisasi dan sinkronisasi dari aspek
substansinya.
BAB II. METODE
PENELITIAN
A. Kerangka Pemikiran
Kerangka
pemikiran yang digunakan dalam kajian tata ruang ini adalah sebagaimana ilustrasi dalam Gambar di bawah.
Pembangunan Nasional
Gambar tersebut
menunjukan keterkaitan antara pembangunan kehutanan dalam negeri dengan proses
pembangunan nasional. Tantangan kehutanan saat ini dan ke depan, antara lain
berupa tekanan terhadap kawasan hutan sebagai akibat pertumbuhan penduduk, pemekaran
wilayah, kebutuhan pengembangan investasi, degradasi hutan sebagai akibat dari
kegiatan illegal logging, kebakaran hutan, perambahan, praktek
pemanfaatan hutan serta penggunaan kawasan hutan yang belum sepenuhnya
mengikuti ketentuan teknis.
Di satu sisi, kawasan hutan
dituntut untuk dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat yang
sekaligus dapat melakukan perannya sebagai penyangga kehidupan. Namun di sisi
lain, masih banyak masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang
bergantung pada keberadaan hutan sebagai sumber mata pencaharian dalam menopang
kehidupannya.
B. Pengumpulan Data
Penelitian
ini merupakan desk study maka data yang dikumpulkan adalah data
sekunder, seperti luas kawasan hutan, peraturan perundangan mengenai tata ruang
baik yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan atau Kementerian Teknis
lainnya, maupun Undang-Undang yang diterbitkan oleh Republik Indonesia, Laporan
Kajian yang dilakukan oleh Tim Terpadu mengenai perubahan kawasan hutan, dan lain
sebagainya.
C. Analisis Data
Dalam
penelitian ini, metode analisis yang digunakan adalah metode analisis
deskriptif dan melakukan pengkajian terhadap faktor-faktor yang menyebabkan
adanya keinginan setiap daerah untuk merubah status kawasan hutan di Indonesia,
kemudian dibandingkan dengan peraturan yang ada mengenai perubahan kawasan dan
tata ruang.
Adapun
faktor-faktor tersebut, adalah Faktor sosial, yaitu masalah konflik lahan seperti
tumpang tindih status lahan, perubahan status pembangunan kawasan, penyerobotan
lahan masyarakat, dan lain sebagainya. Faktor ekonomi, yaitu pembiayaan dan
rentabilitas usaha hutan tanaman yang relatif rendah atau kurang memberikan
keuntungan, dan lain sebagainya.
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kebijakan Penataan Ruang
Kawasan Hutan
Kebijakan penataan ruang kawasan
hutan (penatagunaan kawasan hutan) di
Indonesia
telah mengalami beberapa kali penyempurnaan kebijakan sejalan dengan berubahnya
kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan keamanan nasional di
Indonesia. Perkembangan kebijakan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tahun
1980, berdasarkan UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967, kawasan hutan dikelola
berdasarkan register dan penunjukan kawasan hutan secara parsial.
2. Tahun 1980 s/d 1992, penataan
ruang kawasan hutan ditentukan melalui Tata
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang
ditetapkan oleh Menteri Pertanian dengan penguatan pengaturan di dalam UU No. 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
3. Tahun
1992 s/d 1999, terbitnya UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Penataan
ruang kawasan hutan didasarkan pada hasil paduserasi antara RTRWP dengan TGHK.
4. Tahun 1999 s/d 2005, terbitnya
UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, penataan ruang kawasan hutan di
dasarkan pada penunjukan kawasan hutan dan perairan yang ditetapkan olen
Menteri Kehutanan.
5. Tahun
2005 s/d 2007, dengan terbitnya UU No. 32 tahun 2004 yang menggantikan UU No.
22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, penataan ruang kawasan hutan mulai
terkena implikasi akibat adanya beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang
mengusulkan revisi RTRWP dan RTRWK serta adanya kebutuhan penggunaan
infrastruktur dengan adanya pemekaran wilayah administrasi pemerintahan.
6. Tahun 2007 s/d sekarang, dengan
terbitnya UU No. 26 tahun 2007 yang menggantikan UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, penataan ruang kawasan hutan mengalami penyesuaian sejalan dengan proses
revisi RTRWP.
7. PP No. 26 tahun 2008 tentang RencanaTata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN), merupakan pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang
nasional, jangka menengah nasional untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan,
dan keseimbangan perkembangan antar wilayah provinsi, serta keserasian antar
sektor, penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang
kawasan strategis nasional dan penataan ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota.
8. Tahun
2010, terbitnya PP No.10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan
Fungsi Kawasan Hutan, serta PP No.24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan, sesuai dengan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat,
pada prinsipnya kawasan hutan dapat diubah peruntukan atau fungsinya.
Dalam UU No. 41 tahun 1999, penatagunaan kawasan hutan
adalah kegiatan penetapan fungsi dan
penggunaan kawasan hutan. Berdasarkan fungsi pokoknya, kawasan hutan di bagi
menjadi :
1. Hutan
Konservasi, adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan,
terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan
taman buru.
2. Hutan
Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
3. Hutan
Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan berupa benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang
berasal dari hutan.
Dengan adanya pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi
pokoknya, maka usulan perubahan fungsi kawasan hutan di dalam revisi RTRWP
harus memperhatikan kriteria teknis dari masing-masing fungsi pokok kawasan
hutan tersebut. Posisi kawasan hutan di dalam pola ruang sesuai dengan PP No.
26 tahun 2008 tentang RTRWN adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan Pasal 51 PP No. 26
tahun 2008, kawasan lindung terdiri dari :
a. Kawasan yang
memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, dan berdasarkan Pasal 52
lebih lanjut dirinci, yaitu :
·
Kawasan Hutan
Lindung,
·
Kawasan Bergambut,
dan
·
Kawasan Resapan Air ;
b.
Kawasan Perlindungan
Setempat;
c.
Kawasan Suaka Alam,
Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya;
d.
Kawasan Rawan Bencana
Alam;
e.
Kawasan Lindung Geologi,
dan Kawasan Lindung Lainnya.
2.
Berdasarkan Pasal 63 PP No. 26 tahun 2008, kawasan budidaya terdiri dari :
- Kawasan peruntukan hutan produksi;
- Kawasan peruntukan hutan rakyat;
- Kawasan peruntukan pertanian;
- Kawasan peruntukan perikanan;
- Kawasan peruntukan pertambangan;
- Kawasan peruntukan industri;
- Kawasan peruntukan pariwisata;
- Kawasan peruntukan pemukiman;
- Kawasan peruntukan lainnya.
Keberadaan kawasan hutan dalam
suatu wilayah merupakan bagian dari wilayah provinsi maupun kabupaten/kota yang
bersangkutan. Oleh karenanya kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota
akan memberikan implikasi terhadap keberadaan kawasan hutan tersebut, agar
dapat dicapai keselarasan pemanfaatan ruang yang berkelanjutan, maka diperlukan
suatu arahan yang bersifat nasional (pada beberapa kondisi dapat bersifat
internasional) berupa kebijakan penataan ruang yang bersifat memaksa (mandatory)
untuk diterapkan, yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundangan nasional
maupun perjanjian atau konvesi internasional yang bersifat mengikat.
Namun demikian perkembangan
penataan ruang di Indonesia belum diikuti dengan kajian khusus secara hukum. Kajian
yang selama ini ada masih bersifat bagian, parsial, dan tidak menyeluruh.
Kondisi yang demikian dapat menyulitkan bagi penentu kebijakan dalam hal ini
pemerintah, pihak ketiga, praktisi hukum dan lain sebagainya untuk lebih
memahami tentang hukum tata ruang. Kerumitan tersebut muncul sejalan dengan
adanya otonomi daerah yang memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menata daerah
termasuk ruang. Sesungguhnya penataan
ruang dan otonomi daerah dapat sejalan, akan tetapi dapat pula tidak sejalan,
apabila penataan ruang terlalu berorientasi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Penataan ruang sudah pasti
menghasilkan PAD, tetapi akan menjadi masalah apabila penataan ruang menjadi penataan
uang, karena dapat menghilangkan komitmen yang sudah dibangun untuk menata
ruang, hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan hukum atau lemah
(lumpuhnya) penegakan hukum. (Suriaatmadja, 2008 dalam Karyaatmaja. 2009).
B. Permasalahan Dalam Penataan Ruang Kawasan Hutan
Dari
hasil evaluasi sampai dengan saat ini terhadap beberapa usulan revisi RTRWP khususnya provinsi di luar
Pulau Jawa, sebagian besar mengusulkan perubahan
peruntukan dan fungsi
kawasan
hutan. Kawasan hutan yang diusulkan sebagian besar
menjadi perkebunan kelapa sawit atau pertambangan tanpa izin pelepasan kawasan hutan
dari Menteri Kehutanan (Kompas, 10-02-2010).
Kebutuhan
lahan bagi investasi di luar sektor kehutanan dan pembangunan infrastruktur
perkotaan dan pedesaan (termasuk kebutuhan untuk pemekaran wilayah administrasi
kabupaten/kota) menjadi pendorong munculnya usulan perubahan peruntukan kawasan
hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Permasalahannya adalah usulan perubahan
peruntukan tersebut tidak hanya diusulkan pada kawasan hutan yang tidak dibebani
hak (ijin pemanfaatan hutan), akan tetapi sering juga terjadi terhadap kawasan hutan
yang telah dibebani ijin pemanfaatan. Kondisi
tersebut memberikan implikasi terhadap ketidakpastian pada usaha/investasi kehutanan,
serta akan mempengaruhi upaya pencapaian Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) bagi
kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh lagi usulan perubahan kawasan tersebut
tidak hanya terbatas pada kawasan hutan produksi saja, tetapi juga meliputi
kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
Hutan mempunyai
posisi yang strategis sebagai penjaga keseimbangan dalam sebuah sistem Daerah
Aliran Sungai (DAS), oleh karenanya setiap perubahan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kehutanan harus selalu dijaga agar tidak mengurangi
daya dukung lingkungan dari sistem DAS tersebut. Harus ada upaya bersama untuk
memprioritaskan optimalisasi pemanfaatan lahan (kawasan hutan yang telah di lepas),
sebelum mengubah bentang alam hutan menjadi kawasan budidaya lain yang dapat memberikan
dampak lingkungan yang berkepanjangan. Contohnya, permintaan pemutihan wilayah
hutan konservasi untuk kegiatan tambang dan perkebunan di Kalimantan termasuk
yang terbesar dengan luas mencapai 9.417.537 ha dan usulan perubahan status
kawasan hutan 5.867.654 ha (Kompas, 8-03-2010).
Faktor
pendorong lainnya yang melatar belakangi munculnya usulan perubahan peruntukan
kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), yaitu adanya keterlanjuran
kegiatan non kehutanan yang sudah berjalan tanpa atau belum melalui mekanisme
perubahan fungsi kawasan hutan yang berlaku
saat ini, atau belum adanya persetujuan dari Menteri Kehutanan sesuai dengan
amanat yang tercantum dalam pasal 19 UU No. 41 tahun 1999. Kondisi tersebut ternyata
memberikan implikasi yuridis/hukum yang tidak mudah untuk dicarikan jalan keluarnya.
Ketentuan tidak diperbolehkan pemutihan di dalam penelaahan ulang tata ruang
dalam UU No. 26 tahun 2007 dan keharusan penerapan pengenaan sanksi terhadap
pelanggaran UU No. 41 tahun 1999 merupakan permasalahan hukum yang harus segera
dicarikan jalan keluarnya.
Sebagai gambaran umum permasalahan-permasalahan
dalam proses persetujuan substansi kehutanan atas usulan revisi RTRWP, di
antaranya :
1. Tuntutan perubahan tata
ruang yang sangat kuat seiring dengan maraknya pemekaran wilayah.
2. Perubahan kawasan hutan
yang diusulkan terjadi karena adanya kecenderungan untuk mengakomodasi
keterlanjuran keberadaan kegiatan non kehutanan di dalam kawasan hutan.
3. Usulan perubahan
peruntukan kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), pemerintah daerah
setempat tidak dilengkapi dengan hasil kajian teknis terkait rencana realisasi
pemanfaatan ruang.
4.
Perubahan kawasan hutan
yang dapat dikonversi HPK menjadi APL ternyata tidak selalu dapat diikuti
dengan peningkatan kegiatan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat, hal
tersebut dapat dilihat dari rendahnya persentase realisasi penggunaan APL yang
berasal dari HPK tersebut.
5.
Banyaknya
perijinan (perijinan perkebunan dan perijinan lain) yang terlanjur diterbitkan
oleh pemda setempat di daerah yang berada dalam kawasan hutan, masih banyak belum
sesuai mekanisme dan ketentuan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (hal
tersebut terkait dengan pemahaman terhadap otonomi daerah yang dalam kondisi
tertentu dapat menimbulkan konflik kepentingan antara lembaga pemerintah dengan
pemerintah daerah).
6.
Adanya tumpang tindih
penggunaan kawasan hutan, seperti kebun di dalam areal IUPHHK, Tambang dalam
areal IUPHHK, pemukiman transmigrasi dalam areal IUPHHK. Kondisi tersebut
menambah kompleksnya permasalahan penataan ruang kawasan hutan.
6. Sebagian
besar usulan revisi RTRWP menghendaki perubahan status maupun fungsi kawasan
hutan dalam luasan yang cukup besar, yang dapat berimplikasi terhadap kepastian
usaha serta berkurangnya daya dukung lingkungan (fungsi hutan sebagai penyangga
kehidupan).
7. Persetujuan
substansi kehutanan atas usulan revisi RTRWP memerlukan waktu yang cukup lama,
karena Pasal 19 UU No. 41 tahun 1999 dinyatakan “Perubahan peruntukan dan
fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil
penelitian terpadu dan apabila perubahan peruntukan tersebut dalam skala besar,
strategis dan berdampak penting harus melalui persetujuan DPR-RI”.
Penggunaan kawasan hutan bertujuan mengatur penggunaan sebagian kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah
fungsi pokok kawasan hutan, hal tersebut hanya dapat dilakukan dalam kawasan
hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan juga wajib
mempertimbangkan batasan luas, jangka waktu tertentu, dan kelestarian
lingkungan.
C. Strategi Penyelesaian Permasalahan Penataan
Ruang
Karyaatmaja
(2009) dalam makalahnya mengatakan ada 2 (dua) kelompok tipologi permasalahan
utama terhadap keterlanjuran penggunaan kawasan hutan yang dapat dicarikan
solusi, yaitu :
1.
Permasalahan ijin
pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam kaitannya dengan permasalahan ini dapat
dilakukan alternatif pemecahan dengan menetapkan masa transisi dengan
menyelesaikan satu daur atau penyelesaian secara hukum, dalam hal ini pertimbangan
terhadap dampak yang diakibatkan dari sisi sosial, budaya, ekonomi dan politik
menjadi suatu hal yang sangat penting.
2.
Permasalahan
sosial (desa/kampung/masyarakat adat/lokal), sering kali pengakuan wilayah
hutan adat sudah berada pada lokasi yang tepat akan tetapi belum didukung
syarat syahnya sebagai masyarakat adat yang harus dinyatakan dalam Peraturan
Daerah (Perda).
Untuk itu solusi pemecahannya
adalah dengan menyelesaikan Perda masyarakat adat tersebut. Alternatif solusi
seperti diuraikan di atas dalam implementasinya perlu didukung dengan
alternatif kebijakan usulan penggunaan lahan dalam kawasan hutan.
Dari hasil kajian yang dilakukan ada beberapa strategi yang dapat
dilakukan berkaitan dengan permasalahan penataan ruang nasional dalam revisi RTRWP,
yaitu :
a. Perubahan peruntukan dan
fungsi kawasan hutan serta Percepatan kerja tim terpadu perubahan
peruntukan & fungsi kawasan hutan,
b.
Pelaksanaan audit pemanfaatan
ruang kawasan hutan & menerapkan prinsip dan arahan dalam audit kawasan
hutan.
a. Perubahan Peruntukan Fungsi Kawasan Hutan di
dalam Revisi RTRWP.
Hutan
sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa, merupakan sumberdaya alam yang
memiliki aneka ragam kandungan kekayaan alam yang bermanfaat bagi manusia, baik
manfaat ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi, sebagai bentuk perwujudan rasa syukur terhadap
karunia-Nya, maka hutan harus dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan
mempertimbangkan kecukupan luas kawasan hutan dalam Daerah Aliran Sungai (DAS),
pulau, dan/atau provinsi serta keserasian manfaat secara proporsional sesuai
sifat, karakteristik dan kerentanan peranannya sebagai penyerasi keseimbangan
lingkungan lokal, nasional, dan global. Sesuai dengan sifat, karakteristik dan
penyerasi keseimbangan lingkungan, hutan dibagi dalam 3 (tiga) fungsi pokok
yaitu : hutan
konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Selanjutnya masing-masing
fungsi pokok hutan diatur pengelolaannya dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip
pengelolaan hutan lestari.
Dalam
rangka optimalisasi fungsi dan manfaat hutan dan kawasan hutan sesuai dengan
amanat Pasal 19 UU No. 41 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.19
tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1 tahun 2004
tentang Perubahan atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi
Undang-Undang, dan dengan diterbitkannya PP No.10 tahun 2010, tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta PP No. 24 tahun 2010, tentang
Penggunaan Kawasan Hutan, maka sesuai dengan dinamika pembangunan nasional
serta aspirasi masyarakat, pada
prinsipnya kawasan hutan dapat diubah peruntukan atau fungsinya. Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan
manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat ekonomi, maka perubahan
peruntukan fungsi kawasan hutan harus berasaskan optimalisasi distribusi fungsi
dan manfaat kawasan hutan secara lestari, berkelanjutan dengan memperhatikan
keberadaan kawasan hutan dan luasan yang cukup (Pasal 2, PP No. 10 tahun 2010).
Indonesia
merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas
hujan yang tinggi, terdiri dari pulau-pulau besar, menengah dan kecil serta
mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung, maka
atas dasar kondisi alam tersebut, Menteri Kehutanan menetapkan luas kawasan
hutan dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) atau pulau paling sedikit 30% dari luas daratan (pasal 12, ayat (1) huruf
(a), PP No.10 tahun 2010). Penetapan luas kawasan hutan dan luas minimal
kawasan hutan untuk setiap DAS atau pulau, untuk setiap provinsi berdasarkan
kondisi biofisik, iklim, penduduk dan keadaan sosial serta ekonomi masyarakat
setempat.
Perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan melalui mekanisme perubahan untuk
wilayah provinsi, perubahan peruntukan kawasan hutan pelepasan pada kawasan
hutan produksi terbatas, pada hutan produksi tetap, dan kawasan hutan lindung
dapat dilakukan dengan cara tukar menukar. Penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen harus
menggunakan kawasan hutan, menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan
pengelolaan kawasan hutan, dan memperbaiki batas kawasan hutan juga dapat
dilakukan dengan cara tukar menukar. Kegiatan tukar menukar kawasan hutan dilakukan
dengan kewajiban menyediakan lahan pengganti oleh pemohon.
Kawasan
hutan merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dengan penataan ruang,
perubahan penataan ruang secara berkala merupakan amanat UU No. 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan atau
perubahan peruntukan kawasan hutan dalam revisi tata ruang wilayah provinsi
dilakukan dalam rangka pemantapan dan optimalisasi fungsi kawasan hutan itu
sendiri. Setiap perubahan peruntukan atau perubahan fungsi kawasan hutan,
terlebih dahulu wajib didahului dengan penelitian terpadu yang diselenggarakan
oleh lembaga pemerintah yang kompeten dan memiliki otoritas ilmiah bersama-sama
dengan pihak lain yang terkait (Pasal 19, ayat (1) UU 41 tahun 1999 dan Pasal
13, PP 10 tahun 2010).
Untuk perubahan fungsi kawasan
hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis,
perubahan peruntukan kawasan hutan yang dilakukan oleh pemerintah harus
memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan DPR-RI. Dalam rangka
optimalisasi fungsi kawasan hutan, mengingat adanya keterbatasan data dan
informasi yang tersedia pada saat penunjukan kawasan hutan, dinamika
pembangunan, faktor alam, maupun faktor masyarakat, maka perlu dilakukan
evaluasi fungsi kawasan hutan.
b. Pelaksanaan Tim Terpadu Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan
Hutan dalam Revisi RTRWP.
Pertambahan
penduduk, kebutuhan akan lahan dan rencana pengembangan perekonomian, sosial,
serta budaya merupakan dasar pemerintah daerah untuk melakukan revisi RTRWP.
Dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kawasan Hutan diatur bahwa setiap perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan memerlukan
penelitian oleh Tim Terpadu (sesuai pasal 19) Dalam ayat (1) dinyatakan bahwa “Perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil
penelitian terpadu”. Kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa “Perubahan kawasan
hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan
yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan
DPR”, selanjutnya pada ayat (3) dinyatakan “Ketentuan tentang cara perubahan
peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) di atur dengan Peraturan Pemerintah”.
Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, maka setiap perubahan peruntukan
atau perubahan fungsi kawasan hutan, terlebih dahulu wajib didahului dengan penelitian
terpadu yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang kompeten dan memiliki
otoritas ilmiah bersama-sama dengan pihak lain yang terkait (Pasal 13, PP 10
tahun 2010).
Dalam
penjelasan Pasal 19 ayat (1) dinyatakan bahwa Penelitian Terpadu dilaksanakan
untuk menjamin obyektivitas dan kualitas penelitian, maka kegiatan penelitian
diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki
otoritas ilmiah (scientific authority) bersama dengan pihak lain yang
terkait. Kemudian pada ayat (2) yang dimaksud dengan “berdampak penting
dan cakupan yang luas serta bernilai strategis” adalah perubahan yang berpengaruh
terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata
air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang
dan generasi yang akan datang. Selanjutnya ayat (3) memuat aturan antara lain : Kriteria fungsi hutan, Cakupan luas, Pihak - pihak yang melaksanakan penelitian
dan Tata cara perubahan.
Tim Terpadu untuk perubahan kawasan
hutan dibentuk dan bekerja sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan, adapun
anggota dalam Tim Terpadu sendiri, diantaranya Kementerian Kehutanan, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Negara Lingkungan Hidup,
BAPPENAS, Pemerintah Daerah yang bersangkutan dan Universitas setempat. Dalam pelaksanaannya
kegiatan paduserasi TGH dengan RTRWP tersebut dilakukan dalam 2 (dua) tahapan. Hal tersebut dilakukan karena alasan
teknis, mengingat ketidak seragaman basis data, terpencarnya data, dan
keterbatasan data. Tahap Pertama dibentuk
Tim Teknis oleh Dirjen Planologi Kehutanan, dimana keanggotaan Tim Teknis tersebut
beranggotakan dari unsur Eselon I Kementerian Kehutanan dan Pemda setempat. Tugas
utama dari Tim Teknis tersebut adalah : mengumpulkan, menyediakan, mengelompokan,
menyajikan, dan mempersiapkan data primer maupun sekunder sebagai bahan telaahan
terkait dengan proses paduserasi RTRWP sesuai dengan perkembangan kondisi/ fakta
yang terjadi saat ini.
Tahap Kedua data dan informasi tersebut kemudian digunakan sebagai
masukan utama yang dipakai oleh Tim Terpadu dalam mengkaji dan menetapkan atau merumuskan
alternatif solusi penyelesaian permasalahan atas perubahan fungsi kawasan hutan.
c. Audit Pemanfaatan Ruang Kawasan Hutan.
Audit
kawasan hutan dilakukan untuk mengetahui kondisi kawasan hutan dengan permasalahannya
serta arahan pemecahannya. Hasilnya diharapkan dapat menjadi acuan dalam
penetapan kebijakan pengelolaan kawasan hutan dan pemanfaatan/penggunaan kawasan
hutan dengan sektor lain. Kementerian Kehutanan diharapkan mempresentasikan
mekanisme yang telah diberlakukan pada pelaksanaan penelitian terpadu terhadap usulan
perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam proses revisi RTRWP. Audit
kawasan hutan tersebut juga akan dilakukan pada sektor-sektor lain yang memanfaatkan ruang seperti
pertanian, perkebunan, pertambangan, transmigrasi, dan lain-lain.
Karyaatmadja (2009) mengemukakan suatu
model pelaksanaan audit kehutanan (berdasarkan pengalaman tim terpadu di Provinsi
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah), sebagai berikut :
1) Dimulai dengan update
kawasan hutan dengan mengakomodasikan dinamika perkembangan pengukuhan kawasan hutan,
seperti tata batas, perubahan fungsi kawasan hutan, tukar menukar kawasan, pelepasan
kawasan hutan untuk pembangunan sektor lain.
2) Selanjutnya dilakukan pemetaan sesuai dengan tema-tema pemanfaatan
hutan dan penggunaan kawasan hutan, seperti IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK Restorasi,
ijin pinjam pakai kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan dan
pemukiman.
Disamping tema-tema pemanfaatan
ruang kawasan hutan yang telah mendapat ijin sesuai dengan peraturan
perundangan tersebut, juga dipetakan tema-tema pemanfaatan ruang kawasan hutan
yang belum/tidak melalui mekanisme sesuai dengan peraturan perundangan.
Untuk mengakomodasi kepentingan
adanya usulan perubahan fungsi kawasan hutan, dilakukan pemetaan kondisi
biofisik yang meliputi scoring kawasan (berdasarkan curah hujan,
kelerengan, dan jenis tanah), serta kesesuaian lahan. Dengan cara tumpang susun
(overlay) peta kawasan dan peta
tema-tema tersebut, akan dapat diketahui kemungkinan adanya tumpang tindih (gap)
dan penyimpangan pemanfaatan
ruang kawasan hutan. Gap yang terjadi di kawasan hutan dalam peta TGHK
diakibatkan oleh ketidakserasian karena adanya usulan perubahan RTRWP. Permasalahan yang muncul dalam gap kemudian
dikelompokan dalam beberapa tipologi dan ditabulasikan dalam matrik analisis.
Analisis tersebut meliputi beberapa
aspek, yaitu :
a. Aspek Biofisik seperti
topografi/kelerengan, hidrologi DAS, jenis tanah, curah hujan, penutupan lahan
dan sebarannya di dalam DAS, satwa liar, flora dan fauna endemik yang dilindungi.
b. Aspek Yuridis seperti
peraturan perundangan, kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah, terhadap
hasil kajian/identifikasi sebelumnya, kronologis perubahan kawasan hutan, dan
penggunaan lahan saat ini.
c.
Aspek Sosial Ekonomi
seperti masalah aksesibilitas, perambahan kawasan hutan, potensi konflik, mata pencaharian,
informasi persepsi masyarakat setempat, aspirasi, deskripsi masyarakat,
investasi dan ketenagakerjaan, serta pola pemukiman, dan jaringan transportasi.
Selanjutnya Karyaatmaja (2009) mengatakan
bahwa ada enam prinsip dan arahan yang dapat digunakan dalam pengembangan audit
kawasan hutan, yaitu :
1. Pertimbangan dalam
menentukan kebutuhan lahan, Perlu dilakukan
kajian biofisik secara keseluruhan dengan pengecualian pada kawasan konservasi
yang mempunyai fungsi pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah;
2. Perlunya reskoring dalam menentukan hutan lindung dan kawasan lindung; Mengacu
pada kriteria penetapan funssi pokok kawasan hutan konservasi, hutan lindung
dan hutan produksi;
3. Arahan penggunaan kawasan
hutan di luar kegiatan kehutanan pada hutan produksi dan hutan lindung serta arahan penggunaan lahan untuk hutan
konservasi adalah pengelolaan zonasi secara komprehensif sehingga fungsi utama
sebagai kawasan konservasi tetap terjaga, akan tetapi peranan sebagai penyangga
kehidupan dan fungsi sosial bagi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan juga
tetap dijalankan.
Penataan ruang pada dasarnya
ditujukan untuk mengatur pembagian ruang menjadi beberapa fungsi sehingga
terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.
BAB IV. PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Pelaksanaan paduserasi
antara TGHK dan RTRWP masih menyisakan persoalan terkait dengan munculnya
beberapa usulan revisi RTRWP dari pemerintah daerah provinsi dan proses
penyelesaiannya masih berlarut-larut.
2. Usulan revisi RTRWP
lebih banyak didominasi oleh usulan perubahan alih fungsi kawasan hutan dan
tukar menukar kawasan hutan yang telah diokupasi oleh berbagai kegiatan di luar
sektor kehutanan seperti perkebunan, pertambangan, energi dan lokasi pemukiman
dan pemekaran wilayah.
3. Kebijakan dan peraturan
perundangan baik dalam penataan ruang wilayah dan kawasan hutan sudah tersedia,
namun masih memerlukan harmonisasi dan sinkronisasi dari sisi substansi untuk membantu
memperlancar proses penyelesaian revisi RTRWP di seluruh wilayah Indonesia.
4.
Permasalahan yang
muncul dalam revisi RTRWP adalah :
·
Revisi dipaksakan karena
desakan politik (maraknya pemekaran wilayah), dan Revisi untuk menyelamatkan keterlanjutan keberadaan usaha non
kehutanan,·Revisi APL tidak dilengkapi
kajian teknis dan spasial terkait rencana dan realisasi pemanfaatannya serta tumpang
tindih perijinan usaha kehutanan dan non kehutanan,·Usaha perkebunan dan
lainnya di hutan tanpa ijin resmi dari Menteri Kehutanan,·Revisi memiliki risiko
besar terhadap lingkungan hidup, dan Penyelesaian
revisi memerlukan waktu relatif lama.
5.
Strategi penyelesaian permasalahan
penataan ruang nasional dalam revisi RTRWP dapat dilaksanakan melalui : Perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan, Percepatan
kerja tim terpadu perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, Pelaksanaan audit pemanfaatan ruang kawasan
hutan, dan menerapkan prinsip dan arahan dalam audit kawasan hutan.
B.
Saran
1. Pemerintah pusat
khususnya Kementerian Kehutanan harus konsisten untuk tidak menyetujui revisi
RTRWP dari pemda provinsi dan kabupaten yang berada di kawasan hutan lindung
dan hutan konservasi.
2.
Revisi APL yang
diajukan harus dilengkapi kajian teknis dan spasial terkait rencana dan
realisasi pemanfaatannya sebagai upaya untuk mendukung moratorium ijin konversi
hutan alam produksi dan menyelamatkan hutan alam yang tersisa.
3.
Ijin-ijin illegal dari
keberadaan usaha-usaha non kehutanan di kawasan hutan produksi perlu
diselesaikan secara “win-win solution” dengan melakukan tuntutan ganti rugi
atau sistem bagi hasil yang proporsional hingga berakhirnya masa berlaku ijin-ijin
tersebut.
4. Pembuatan kriteria dan
indikator dalam melakukan eksekusi terhadap lahan yang dimohon untuk di rubah
baik dalam permohonan perubahan peruntukan maupun perubahan fungsi kawasan
hutan yang di buat oleh Tim Terpadu harus ditetapkan secara jelas dan dijadikan
sebagai suatu dasar acuan di seluruh Indonesia dalam memberikan rekomendasi.
5.
Penyederhanaan
persyaratan dalam permohonan paduserasi RTRWP dengan TGHK disertai kejelasan
batas waktu dalam penyelesaian usulan permohonan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen
Planologi. 2010. Tebu: Pemanfaatan 500.000 Hektar lahan baru harus dijaga. Harian
Kompas, tanggal 10 Februari 2010, halaman 18. Jakarta.
Dirjen Planologi. 2010. Enklave
dibatasi: Pemutihan berdasarkan keputusan DPR. Harian Kompas, tanggal 8 Maret 2010,
halaman 13. Jakarta.
Karyaatmaja, B. 2009. Makalah
permasalahan penataan ruang kawasan hutan dalam rangka revisi RTRWP. Ditjen
Planologi Kehutanan. Jakarta.
Peraturan Pemerintah No. 26 tahun
2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Peraturan Pemerintah No. 6 tahun
2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan
Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 3 tahun
2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata
Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun
2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 24. tahun
2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
Undang-Undang Tata Ruang No. 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar