Sabtu, 21 November 2015

PERMASALAHAN PENATAAN RUANG KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REVISI RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI (RTRWP)



BAB I   PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang
           Keberadaan kawasan hutan dalam suatu wilayah merupakan bagian dari ruang wilayah provinsi maupun kabupaten/kota yang bersangkutan sehingga kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota akan memberikan implikasi luas terhadap keberadaan kawasan hutan tersebut. Pencapaian keselarasan pemanfaatan ruang yang berkelanjutan memerlukan suatu arahan berupa kebijakan penataan ruang yang bersifat nasional dan wajib (mandatory) untuk diterapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional maupun perjanjian atau konvesi internasional yang bersifat mengikat.  Di Indonesia, undang-undang (UU) pertama yang mengatur tata ruang adalah UU No. 24 tahun 1992, tentang penataan ruang, yang diikuti dengan berbagai aturan pelaksanaannya baik berupa peratuan pemerintah (PP), peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan daerah, maupun peraturan yang lebih rendah dari itu. Pada tahun 2007, UU No.24 tahun 1992 diubah menjadi UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Perkembangan penataan ruang di Indonesia belum diikuti dengan kajian khusus secara hukum; kalaupun ada masih bersifat serpihan, parsial, dan tidak utuh menyeluruh.
           Adanya otonomi daerah dan pemberian kebebasan kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri dari segi administrasi, dipandang sebagai suatu langkah kebijakan yang baik. Namun apabila dilihat dari sudut penataan ruang, hal ini justru mulai memunculkan permasalahan baru. Sebagai contoh, banyak lahan yang rusak akibat dari pemanfaatan hutan oleh pemegang HPH/IUPHHK, baik hutan alam maupun hutan tanaman dan hal tersebut mendorong pemerintah daerah untuk mengubah fungsi kawasan hutan dimaksud. Pelaksanaan penataan ruang kawasan hutan diatur oleh UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang lebih dikenal dengan istilah “Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)”. Adapun penataan ruang wilayah provinsi (RTRWP) secara keseluruhan dalam pelaksanaannya diatur dalam UU No. 26 tahun 2007, yang  di dalamnya termasuk pengaturan terhadap kawasan hutan. Oleh karenanya diperlukan adanya suatu paduserasi antara UU No.41 tahun 1999 (TGHK) dengan UU No.26 tahun 2007 (RTRWP), baik dalam ketentuan peraturan pelaksanaan dibawahnya maupun detail di dalam implementasinya.
           Pemberlakuan UU No. 26 tahun 2007 dan PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional telah mendorong seluruh provinsi di Indonesia untuk  melakukan penyesuaian (revisi) RTRWP. Hal tersebut dipicu oleh adanya ketentuan batas waktu penyelesaian revisi RTRW selama 2 tahun untuk RTRWP dan 3 tahun untuk RTRWK terhitung sejak pemberlakuan UU 26 tahun 2007 tanggal 26 April 2007. Oleh karena itu, kajian terkait dengan proses penataan ruang wilayah dan kawasan hutan sangat diperlukan terutama dalam mengkaji sejauhmana kebijakan yang ada dapat menjawab semua permasalahan dalam proses paduserasi kawasan hutan (mekanisme, tatacara, dan persyaratan dalam proses perubahan fungsi kawasan hutan) serta gap di dalam implementasi peraturan tersebut.

B.   Ruang Lingkup
           Ruang Lingkup Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Kabupaten/Kota (RTRWK) sangat terkait dengan penataan dan keberadaan kawasan hutan. Penyusunan RTRWP masih menyisakan persoalan terkait dengan penyelesaian yang berlarut-larut terhadap usulan revisi dari beberapa pemerintah daerah provinsi.
Oleh karena itu, kajian tentang permasalahan RTRWP ini menjadi penting dan relevan untuk membantu penyelesaiannya. Tujuan dari kajian ini adalah menelaah kebijakan penataan ruang yang ada, mengidentifikasi permasalahannya dan menyusun strategi penyelesaian masalahnya. Sebenarnya sudah tersedia perangkat peraturan dan kebijakan penataan ruang wilayah dan kawasan hutan, namun masih perlu pengkajian lebih lanjut terkait dengan harmonisasi dan sinkronisasi dari aspek substansinya.





BAB II.  METODE PENELITIAN


A.  Kerangka Pemikiran
           Kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian tata ruang ini adalah sebagaimana  ilustrasi dalam Gambar  di bawah.

Gambar  :  Keterkaitan antara Pembangunan Hutan Dan
Pembangunan Nasional

           Gambar tersebut menunjukan keterkaitan antara pembangunan kehutanan dalam negeri dengan proses pembangunan nasional. Tantangan kehutanan saat ini dan ke depan, antara lain berupa tekanan terhadap kawasan hutan sebagai akibat pertumbuhan penduduk, pemekaran wilayah, kebutuhan pengembangan investasi, degradasi hutan sebagai akibat dari kegiatan illegal logging, kebakaran hutan, perambahan, praktek pemanfaatan hutan serta penggunaan kawasan hutan yang belum sepenuhnya mengikuti ketentuan teknis.
Di satu sisi, kawasan hutan dituntut untuk dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat yang sekaligus dapat melakukan perannya sebagai penyangga kehidupan. Namun di sisi lain, masih banyak masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang bergantung pada keberadaan hutan sebagai sumber mata pencaharian dalam menopang kehidupannya.

B.   Pengumpulan Data
           Penelitian ini merupakan desk study maka data yang dikumpulkan adalah data sekunder, seperti luas kawasan hutan, peraturan perundangan mengenai tata ruang baik yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan atau Kementerian Teknis lainnya, maupun Undang-Undang yang diterbitkan oleh Republik Indonesia, Laporan Kajian yang dilakukan oleh Tim Terpadu mengenai perubahan kawasan hutan, dan lain sebagainya.
C.   Analisis Data
           Dalam penelitian ini, metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dan melakukan pengkajian terhadap faktor-faktor yang menyebabkan adanya keinginan setiap daerah untuk merubah status kawasan hutan di Indonesia, kemudian dibandingkan dengan peraturan yang ada mengenai perubahan kawasan dan tata ruang.
           Adapun faktor-faktor tersebut, adalah Faktor sosial, yaitu masalah konflik lahan seperti tumpang tindih status lahan, perubahan status pembangunan kawasan, penyerobotan lahan masyarakat, dan lain sebagainya. Faktor ekonomi, yaitu pembiayaan dan rentabilitas usaha hutan tanaman yang relatif rendah atau kurang memberikan keuntungan, dan lain sebagainya.



 

BAB  III.  HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Hutan
Kebijakan penataan ruang kawasan hutan (penatagunaan kawasan hutan) di
Indonesia telah mengalami beberapa kali penyempurnaan kebijakan sejalan dengan berubahnya kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan keamanan nasional di Indonesia. Perkembangan kebijakan tersebut adalah sebagai berikut   :
1.  Tahun 1980, berdasarkan UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967, kawasan hutan dikelola berdasarkan register dan penunjukan kawasan hutan secara parsial.
2. Tahun 1980 s/d 1992, penataan ruang kawasan hutan ditentukan melalui Tata
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dengan penguatan pengaturan di dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
3.  Tahun 1992 s/d 1999, terbitnya UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Penataan ruang kawasan hutan didasarkan pada hasil paduserasi antara RTRWP dengan TGHK.
4. Tahun 1999 s/d 2005, terbitnya UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, penataan ruang kawasan hutan di dasarkan pada penunjukan kawasan hutan dan perairan yang ditetapkan olen Menteri Kehutanan.
5.  Tahun 2005 s/d 2007, dengan terbitnya UU No. 32 tahun 2004 yang menggantikan UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, penataan ruang kawasan hutan mulai terkena implikasi akibat adanya beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang mengusulkan revisi RTRWP dan RTRWK serta adanya kebutuhan penggunaan infrastruktur dengan adanya pemekaran wilayah administrasi pemerintahan.
6. Tahun 2007 s/d sekarang, dengan terbitnya UU No. 26 tahun 2007 yang menggantikan UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, penataan ruang kawasan hutan mengalami penyesuaian sejalan dengan proses revisi RTRWP.
7. PP No. 26 tahun 2008 tentang RencanaTata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), merupakan pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional, jangka menengah nasional untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah provinsi, serta keserasian antar sektor, penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan strategis nasional dan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
8.  Tahun 2010, terbitnya PP No.10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta PP No.24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, sesuai dengan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat, pada prinsipnya kawasan hutan dapat diubah peruntukan atau fungsinya.

Dalam UU No. 41 tahun 1999, penatagunaan kawasan hutan adalah  kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Berdasarkan fungsi pokoknya, kawasan hutan di bagi menjadi :
1.  Hutan Konservasi, adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru.
2.  Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
3.  Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan berupa benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.

Dengan adanya pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya, maka usulan perubahan fungsi kawasan hutan di dalam revisi RTRWP harus memperhatikan kriteria teknis dari masing-masing fungsi pokok kawasan hutan tersebut. Posisi kawasan hutan di dalam pola ruang sesuai dengan PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN adalah sebagai berikut  :
1. Berdasarkan Pasal 51 PP No. 26 tahun 2008, kawasan lindung terdiri dari :
a.   Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, dan berdasarkan Pasal 52 lebih lanjut dirinci, yaitu :
·                 Kawasan Hutan Lindung,
·                 Kawasan Bergambut, dan
·                 Kawasan Resapan Air  ;
b.    Kawasan Perlindungan Setempat;
c.    Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya;
d.   Kawasan Rawan Bencana Alam;
e.    Kawasan Lindung Geologi, dan Kawasan Lindung Lainnya.

2. Berdasarkan Pasal 63 PP No. 26 tahun 2008, kawasan budidaya terdiri dari :
  1.   Kawasan peruntukan hutan produksi;
  2.   Kawasan peruntukan hutan rakyat;
  3.   Kawasan peruntukan pertanian;
  4.   Kawasan peruntukan perikanan;
  5.   Kawasan peruntukan pertambangan;
  6.   Kawasan peruntukan industri;
  7.   Kawasan peruntukan pariwisata;
  8.   Kawasan peruntukan pemukiman;
  9.   Kawasan peruntukan lainnya.

Keberadaan kawasan hutan dalam suatu wilayah merupakan bagian dari wilayah provinsi maupun kabupaten/kota yang bersangkutan. Oleh karenanya kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota akan memberikan implikasi terhadap keberadaan kawasan hutan tersebut, agar dapat dicapai keselarasan pemanfaatan ruang yang berkelanjutan, maka diperlukan suatu arahan yang bersifat nasional (pada beberapa kondisi dapat bersifat internasional) berupa kebijakan penataan ruang yang bersifat memaksa (mandatory) untuk diterapkan, yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundangan nasional maupun perjanjian  atau  konvesi  internasional yang bersifat mengikat. 
Namun demikian perkembangan penataan ruang di Indonesia belum diikuti dengan kajian khusus secara hukum. Kajian yang selama ini ada masih bersifat bagian, parsial, dan tidak menyeluruh. Kondisi yang demikian dapat menyulitkan bagi penentu kebijakan dalam hal ini pemerintah, pihak ketiga, praktisi hukum dan lain sebagainya untuk lebih memahami tentang hukum tata ruang. Kerumitan tersebut muncul sejalan dengan adanya otonomi daerah yang memberikan keleluasaan kepada daerah untuk  menata  daerah  termasuk ruang. Sesungguhnya penataan ruang dan otonomi daerah dapat sejalan, akan tetapi dapat pula tidak sejalan, apabila penataan ruang terlalu berorientasi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Penataan ruang sudah pasti menghasilkan PAD, tetapi akan menjadi masalah apabila penataan ruang menjadi penataan uang, karena dapat menghilangkan komitmen yang sudah dibangun untuk menata ruang, hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan hukum atau lemah (lumpuhnya) penegakan hukum. (Suriaatmadja, 2008 dalam Karyaatmaja. 2009).

B.  Permasalahan Dalam Penataan Ruang Kawasan Hutan
           Dari hasil evaluasi sampai dengan saat ini terhadap beberapa usulan revisi RTRWP khususnya provinsi di luar Pulau Jawa, sebagian besar mengusulkan   perubahan   peruntukan   dan  fungsi   kawasan  hutan.  Kawasan hutan yang diusulkan sebagian besar menjadi perkebunan kelapa sawit atau pertambangan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan (Kompas, 10-02-2010).
           Kebutuhan lahan bagi investasi di luar sektor kehutanan dan pembangunan infrastruktur perkotaan dan pedesaan (termasuk kebutuhan untuk pemekaran wilayah administrasi kabupaten/kota) menjadi pendorong munculnya usulan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Permasalahannya adalah usulan perubahan peruntukan tersebut tidak hanya diusulkan pada kawasan hutan yang tidak dibebani hak (ijin pemanfaatan hutan), akan tetapi sering juga terjadi terhadap kawasan hutan yang telah dibebani ijin pemanfaatan. Kondisi tersebut memberikan implikasi terhadap ketidakpastian pada usaha/investasi kehutanan, serta akan mempengaruhi upaya pencapaian Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) bagi kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh lagi usulan perubahan kawasan tersebut tidak hanya terbatas pada kawasan hutan produksi saja, tetapi juga meliputi kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
           Hutan mempunyai posisi yang strategis sebagai penjaga keseimbangan dalam sebuah sistem Daerah Aliran Sungai (DAS), oleh karenanya setiap perubahan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan harus selalu dijaga agar tidak mengurangi daya dukung lingkungan dari sistem DAS tersebut. Harus ada upaya bersama untuk memprioritaskan optimalisasi pemanfaatan lahan (kawasan hutan yang telah di lepas), sebelum mengubah bentang alam hutan menjadi kawasan budidaya lain yang dapat memberikan dampak lingkungan yang berkepanjangan. Contohnya, permintaan pemutihan wilayah hutan konservasi untuk kegiatan tambang dan perkebunan di Kalimantan termasuk yang terbesar dengan luas mencapai 9.417.537 ha dan usulan perubahan status kawasan hutan 5.867.654 ha (Kompas, 8-03-2010).
           Faktor pendorong lainnya yang melatar belakangi munculnya usulan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), yaitu adanya keterlanjuran kegiatan non kehutanan yang sudah berjalan tanpa atau belum melalui mekanisme perubahan fungsi kawasan hutan yang  berlaku saat ini, atau belum adanya persetujuan dari Menteri Kehutanan sesuai dengan amanat yang tercantum dalam pasal 19 UU No. 41 tahun 1999. Kondisi tersebut ternyata memberikan implikasi yuridis/hukum yang tidak mudah untuk dicarikan jalan keluarnya. Ketentuan tidak diperbolehkan pemutihan di dalam penelaahan ulang tata ruang dalam UU No. 26 tahun 2007 dan keharusan penerapan pengenaan sanksi terhadap pelanggaran UU No. 41 tahun 1999 merupakan permasalahan hukum yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.    
Sebagai gambaran umum permasalahan-permasalahan dalam proses persetujuan substansi kehutanan atas usulan revisi RTRWP, di antaranya  :
1.  Tuntutan perubahan tata ruang yang sangat kuat seiring dengan maraknya pemekaran wilayah.
2. Perubahan kawasan hutan yang diusulkan terjadi karena adanya kecenderungan untuk mengakomodasi keterlanjuran keberadaan kegiatan non kehutanan di dalam kawasan hutan.
3.   Usulan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), pemerintah daerah setempat tidak dilengkapi dengan hasil kajian teknis terkait rencana realisasi pemanfaatan ruang.
4.   Perubahan kawasan hutan yang dapat dikonversi HPK menjadi APL ternyata tidak selalu dapat diikuti dengan peningkatan kegiatan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat, hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya persentase realisasi penggunaan APL yang berasal dari HPK tersebut.
5.   Banyaknya perijinan (perijinan perkebunan dan perijinan lain) yang terlanjur diterbitkan oleh pemda setempat di daerah yang berada dalam kawasan hutan, masih banyak belum sesuai mekanisme dan ketentuan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (hal tersebut terkait dengan pemahaman terhadap otonomi daerah yang dalam kondisi tertentu dapat menimbulkan konflik kepentingan antara lembaga pemerintah dengan pemerintah daerah).
6.   Adanya tumpang tindih penggunaan kawasan hutan, seperti kebun di dalam areal IUPHHK, Tambang dalam areal IUPHHK, pemukiman transmigrasi dalam areal IUPHHK. Kondisi tersebut menambah kompleksnya permasalahan penataan ruang kawasan hutan.
6.  Sebagian besar usulan revisi RTRWP menghendaki perubahan status maupun fungsi kawasan hutan dalam luasan yang cukup besar, yang dapat berimplikasi terhadap kepastian usaha serta berkurangnya daya dukung lingkungan (fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan).
7.  Persetujuan substansi kehutanan atas usulan revisi RTRWP memerlukan waktu yang cukup lama, karena Pasal 19 UU No. 41 tahun 1999 dinyatakan “Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu dan apabila perubahan peruntukan tersebut dalam skala besar, strategis dan berdampak penting harus melalui persetujuan DPR-RI”.

Penggunaan kawasan hutan bertujuan mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan, hal tersebut hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan juga wajib mempertimbangkan batasan luas, jangka waktu tertentu, dan kelestarian lingkungan.

C.  Strategi Penyelesaian Permasalahan Penataan Ruang
           Karyaatmaja (2009) dalam makalahnya mengatakan ada 2 (dua) kelompok tipologi permasalahan utama terhadap keterlanjuran penggunaan kawasan hutan yang dapat dicarikan solusi, yaitu  :
1.   Permasalahan ijin pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam kaitannya dengan permasalahan ini dapat dilakukan alternatif pemecahan dengan menetapkan masa transisi dengan menyelesaikan satu daur atau penyelesaian secara hukum, dalam hal ini pertimbangan terhadap dampak yang diakibatkan dari sisi sosial, budaya, ekonomi dan politik menjadi suatu hal yang sangat penting.
2.   Permasalahan sosial (desa/kampung/masyarakat adat/lokal), sering kali pengakuan wilayah hutan adat sudah berada pada lokasi yang tepat akan tetapi belum didukung syarat syahnya sebagai masyarakat adat yang harus dinyatakan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Untuk itu solusi pemecahannya adalah dengan menyelesaikan Perda masyarakat adat tersebut. Alternatif solusi seperti diuraikan di atas dalam implementasinya perlu didukung dengan alternatif kebijakan usulan penggunaan lahan dalam kawasan hutan.

Dari hasil kajian yang dilakukan ada beberapa strategi yang dapat dilakukan berkaitan dengan permasalahan penataan ruang nasional dalam revisi RTRWP, yaitu   :
a.   Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta Percepatan kerja tim terpadu perubahan peruntukan & fungsi kawasan hutan,
b.   Pelaksanaan  audit pemanfaatan  ruang kawasan hutan &   menerapkan       prinsip dan arahan dalam audit kawasan hutan.

a.  Perubahan Peruntukan Fungsi Kawasan Hutan di dalam Revisi RTRWP.
           Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa, merupakan sumberdaya alam yang memiliki aneka ragam kandungan kekayaan alam yang bermanfaat bagi manusia, baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi,  sebagai bentuk perwujudan rasa syukur terhadap karunia-Nya, maka hutan harus dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan mempertimbangkan kecukupan luas kawasan hutan dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), pulau, dan/atau provinsi serta keserasian manfaat secara proporsional sesuai sifat, karakteristik dan kerentanan peranannya sebagai penyerasi keseimbangan lingkungan lokal, nasional, dan global.  Sesuai dengan sifat, karakteristik dan penyerasi keseimbangan lingkungan, hutan dibagi dalam 3 (tiga) fungsi pokok yaitu :  hutan konservasi, hutan lindung, dan  hutan produksi. Selanjutnya masing-masing fungsi pokok hutan diatur pengelolaannya dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari.
           Dalam rangka optimalisasi fungsi dan manfaat hutan dan kawasan hutan sesuai dengan amanat Pasal 19 UU No. 41 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang, dan dengan diterbitkannya  PP No.10  tahun 2010, tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta PP No. 24 tahun 2010, tentang Penggunaan Kawasan Hutan, maka sesuai dengan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat,  pada prinsipnya kawasan hutan dapat diubah peruntukan atau fungsinya. Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat ekonomi, maka perubahan peruntukan fungsi kawasan hutan harus berasaskan optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan secara lestari, berkelanjutan dengan memperhatikan keberadaan kawasan hutan dan luasan yang cukup (Pasal 2, PP No. 10 tahun 2010).
           Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, terdiri dari pulau-pulau besar, menengah dan kecil serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung, maka atas dasar kondisi alam tersebut, Menteri Kehutanan menetapkan luas kawasan hutan dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) atau pulau paling sedikit 30%  dari luas daratan (pasal 12, ayat (1) huruf (a), PP No.10 tahun 2010). Penetapan luas kawasan hutan dan luas minimal kawasan hutan untuk setiap DAS atau pulau, untuk setiap provinsi berdasarkan kondisi biofisik, iklim, penduduk dan keadaan sosial serta ekonomi masyarakat setempat.
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan melalui mekanisme perubahan untuk wilayah provinsi, perubahan peruntukan kawasan hutan pelepasan pada kawasan hutan produksi terbatas, pada hutan produksi tetap, dan kawasan hutan lindung dapat dilakukan dengan cara tukar menukar. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen harus menggunakan kawasan hutan, menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan, dan memperbaiki batas kawasan hutan juga dapat dilakukan dengan cara tukar menukar. Kegiatan tukar menukar kawasan hutan dilakukan dengan kewajiban menyediakan lahan pengganti oleh pemohon.
Kawasan hutan merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dengan penataan ruang, perubahan penataan ruang secara berkala merupakan amanat UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan atau perubahan peruntukan kawasan hutan dalam revisi tata ruang wilayah provinsi dilakukan dalam rangka pemantapan dan optimalisasi fungsi kawasan hutan itu sendiri. Setiap perubahan peruntukan atau perubahan fungsi kawasan hutan, terlebih dahulu wajib didahului dengan penelitian terpadu yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang kompeten dan memiliki otoritas ilmiah bersama-sama dengan pihak lain yang terkait (Pasal 19, ayat (1) UU 41 tahun 1999 dan Pasal 13, PP 10 tahun 2010).
Untuk perubahan fungsi kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, perubahan peruntukan kawasan hutan yang dilakukan oleh pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan DPR-RI. Dalam rangka optimalisasi fungsi kawasan hutan, mengingat adanya keterbatasan data dan informasi yang tersedia pada saat penunjukan kawasan hutan, dinamika pembangunan, faktor alam, maupun faktor masyarakat, maka perlu dilakukan evaluasi fungsi kawasan hutan.

b. Pelaksanaan Tim Terpadu Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dalam Revisi RTRWP.
      Pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan dan rencana pengembangan perekonomian, sosial, serta budaya merupakan dasar pemerintah daerah untuk melakukan revisi RTRWP. Dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kawasan Hutan diatur bahwa setiap perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan memerlukan  penelitian oleh Tim Terpadu (sesuai pasal 19)   Dalam ayat (1) dinyatakan bahwa “Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu”. Kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa “Perubahan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR”, selanjutnya pada ayat (3) dinyatakan “Ketentuan tentang cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) di atur dengan Peraturan Pemerintah”. Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, maka setiap perubahan peruntukan atau perubahan fungsi kawasan hutan, terlebih dahulu wajib didahului dengan penelitian terpadu yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang kompeten dan memiliki otoritas ilmiah bersama-sama dengan pihak lain yang terkait (Pasal 13, PP 10 tahun 2010).
           Dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) dinyatakan bahwa Penelitian Terpadu dilaksanakan untuk menjamin obyektivitas dan kualitas penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama dengan pihak lain yang terkait. Kemudian pada ayat (2) yang dimaksud dengan “berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis” adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Selanjutnya ayat (3) memuat aturan antara lain  : Kriteria fungsi  hutan,  Cakupan  luas,     Pihak - pihak yang melaksanakan penelitian dan  Tata cara perubahan.
Tim Terpadu untuk perubahan kawasan hutan dibentuk dan bekerja sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan, adapun anggota dalam Tim Terpadu sendiri, diantaranya Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, BAPPENAS, Pemerintah Daerah yang bersangkutan dan Universitas setempat. Dalam pelaksanaannya kegiatan paduserasi TGH dengan RTRWP tersebut dilakukan dalam 2 (dua) tahapan.  Hal tersebut dilakukan karena alasan teknis, mengingat ketidak seragaman basis data, terpencarnya data, dan keterbatasan data. Tahap Pertama dibentuk Tim Teknis oleh Dirjen Planologi Kehutanan, dimana keanggotaan Tim Teknis tersebut beranggotakan dari unsur Eselon I Kementerian Kehutanan dan Pemda setempat. Tugas utama dari Tim Teknis tersebut adalah : mengumpulkan, menyediakan, mengelompokan, menyajikan, dan mempersiapkan data primer maupun sekunder sebagai bahan telaahan terkait dengan proses paduserasi RTRWP sesuai dengan perkembangan kondisi/ fakta yang terjadi saat ini.

Tahap Kedua data dan informasi tersebut kemudian digunakan sebagai masukan utama yang dipakai oleh Tim Terpadu dalam mengkaji dan menetapkan atau merumuskan alternatif solusi penyelesaian permasalahan atas perubahan fungsi kawasan hutan.

c.   Audit Pemanfaatan Ruang Kawasan Hutan.
           Audit kawasan hutan dilakukan untuk mengetahui kondisi kawasan hutan dengan permasalahannya serta arahan pemecahannya. Hasilnya diharapkan dapat menjadi acuan dalam penetapan kebijakan pengelolaan kawasan hutan dan pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan dengan sektor lain. Kementerian Kehutanan diharapkan mempresentasikan mekanisme yang telah diberlakukan pada pelaksanaan penelitian terpadu terhadap usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam proses revisi RTRWP. Audit kawasan hutan tersebut juga akan dilakukan pada sektor-sektor lain yang memanfaatkan ruang seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, transmigrasi, dan lain-lain.
Karyaatmadja (2009) mengemukakan suatu model pelaksanaan audit kehutanan (berdasarkan pengalaman tim terpadu di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah), sebagai berikut  :
1)  Dimulai dengan update kawasan hutan dengan mengakomodasikan dinamika perkembangan pengukuhan kawasan hutan, seperti tata batas, perubahan fungsi kawasan hutan, tukar menukar kawasan, pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan sektor lain.
2) Selanjutnya dilakukan pemetaan sesuai dengan tema-tema pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, seperti IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK Restorasi, ijin pinjam pakai kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan dan pemukiman.  
Disamping tema-tema pemanfaatan ruang kawasan hutan yang telah mendapat ijin sesuai dengan peraturan perundangan tersebut, juga dipetakan tema-tema pemanfaatan ruang kawasan hutan yang belum/tidak melalui mekanisme sesuai dengan peraturan perundangan.
Untuk mengakomodasi kepentingan adanya usulan perubahan fungsi kawasan hutan, dilakukan pemetaan kondisi biofisik yang meliputi scoring kawasan (berdasarkan curah hujan, kelerengan, dan jenis tanah), serta kesesuaian lahan. Dengan cara tumpang susun (overlay) peta  kawasan dan peta tema-tema tersebut, akan dapat diketahui kemungkinan adanya tumpang tindih (gap)                 dan penyimpangan pemanfaatan ruang kawasan hutan. Gap yang terjadi di kawasan hutan dalam peta TGHK diakibatkan oleh ketidakserasian karena adanya usulan perubahan RTRWP. Permasalahan yang muncul dalam gap kemudian dikelompokan dalam beberapa tipologi dan ditabulasikan dalam matrik analisis.
Analisis tersebut meliputi beberapa aspek, yaitu :
a.  Aspek Biofisik seperti topografi/kelerengan, hidrologi DAS, jenis tanah, curah hujan, penutupan lahan dan sebarannya di dalam DAS, satwa liar, flora dan fauna endemik yang dilindungi.
b.  Aspek Yuridis seperti peraturan perundangan, kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah, terhadap hasil kajian/identifikasi sebelumnya, kronologis perubahan kawasan hutan, dan penggunaan lahan saat ini.
c.    Aspek Sosial Ekonomi seperti masalah aksesibilitas, perambahan kawasan hutan, potensi konflik, mata pencaharian, informasi persepsi masyarakat setempat, aspirasi, deskripsi masyarakat, investasi dan ketenagakerjaan, serta pola pemukiman, dan jaringan transportasi.
Selanjutnya Karyaatmaja (2009) mengatakan bahwa ada enam prinsip dan arahan yang dapat digunakan dalam pengembangan audit kawasan hutan, yaitu :
1.    Pertimbangan dalam menentukan kebutuhan lahan,   Perlu dilakukan kajian biofisik secara keseluruhan dengan pengecualian pada kawasan konservasi yang mempunyai fungsi pelestarian dan perlindungan  keanekaragaman hayati dan plasma nutfah;
2.  Perlunya reskoring dalam menentukan hutan lindung dan kawasan lindung;  Mengacu pada kriteria penetapan funssi pokok kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi;
3.    Arahan penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan pada hutan produksi dan hutan lindung  serta arahan penggunaan lahan untuk hutan konservasi adalah pengelolaan zonasi secara komprehensif sehingga fungsi utama sebagai kawasan konservasi tetap terjaga, akan tetapi peranan sebagai penyangga kehidupan dan fungsi sosial bagi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan juga tetap dijalankan.
Penataan ruang pada dasarnya ditujukan untuk mengatur pembagian ruang menjadi beberapa fungsi sehingga terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.




BAB IV.  PENUTUP


A.        Kesimpulan

1. Pelaksanaan paduserasi antara TGHK dan RTRWP masih menyisakan persoalan terkait dengan munculnya beberapa usulan revisi RTRWP dari pemerintah daerah provinsi dan proses penyelesaiannya masih berlarut-larut.
2. Usulan revisi RTRWP lebih banyak didominasi oleh usulan perubahan alih fungsi kawasan hutan dan tukar menukar kawasan hutan yang telah diokupasi oleh berbagai kegiatan di luar sektor kehutanan seperti perkebunan, pertambangan, energi dan lokasi pemukiman dan pemekaran wilayah.
3.  Kebijakan dan peraturan perundangan baik dalam penataan ruang wilayah dan kawasan hutan sudah tersedia, namun masih memerlukan harmonisasi dan sinkronisasi dari sisi substansi untuk membantu memperlancar proses penyelesaian revisi RTRWP di seluruh wilayah Indonesia.
4.    Permasalahan yang muncul dalam revisi RTRWP adalah  :
·                Revisi dipaksakan karena desakan politik (maraknya pemekaran wilayah), dan  Revisi untuk menyelamatkan keterlanjutan keberadaan usaha non kehutanan,·Revisi APL tidak dilengkapi kajian teknis dan spasial terkait rencana dan realisasi pemanfaatannya serta tumpang tindih perijinan usaha kehutanan dan non kehutanan,·Usaha perkebunan dan lainnya di hutan tanpa ijin resmi dari Menteri Kehutanan,·Revisi memiliki risiko besar terhadap lingkungan hidup, dan Penyelesaian revisi memerlukan waktu relatif lama.

5.        Strategi penyelesaian permasalahan penataan ruang nasional dalam revisi RTRWP dapat dilaksanakan melalui  : Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan,  Percepatan kerja tim terpadu perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, Pelaksanaan audit pemanfaatan ruang kawasan hutan, dan menerapkan prinsip dan arahan dalam audit kawasan hutan.

B.        Saran

1.  Pemerintah pusat khususnya Kementerian Kehutanan harus konsisten untuk tidak menyetujui revisi RTRWP dari pemda provinsi dan kabupaten yang berada di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi.

2.   Revisi APL yang diajukan harus dilengkapi kajian teknis dan spasial terkait rencana dan realisasi pemanfaatannya sebagai upaya untuk mendukung moratorium ijin konversi hutan alam produksi dan menyelamatkan hutan alam yang tersisa.
3.   Ijin-ijin illegal dari keberadaan usaha-usaha non kehutanan di kawasan hutan produksi perlu diselesaikan secara “win-win solution” dengan melakukan tuntutan ganti rugi atau sistem bagi hasil yang proporsional hingga berakhirnya masa berlaku ijin-ijin tersebut.
4.  Pembuatan kriteria dan indikator dalam melakukan eksekusi terhadap lahan yang dimohon untuk di rubah baik dalam permohonan perubahan peruntukan maupun perubahan fungsi kawasan hutan yang di buat oleh Tim Terpadu harus ditetapkan secara jelas dan dijadikan sebagai suatu dasar acuan di seluruh Indonesia dalam memberikan rekomendasi.
5.   Penyederhanaan persyaratan dalam permohonan paduserasi RTRWP dengan TGHK disertai kejelasan batas waktu dalam penyelesaian usulan permohonan tersebut.


 

 DAFTAR  PUSTAKA


Dirjen Planologi. 2010. Tebu: Pemanfaatan 500.000 Hektar lahan baru harus dijaga. Harian Kompas, tanggal 10 Februari 2010, halaman 18. Jakarta.
Dirjen Planologi. 2010. Enklave dibatasi: Pemutihan berdasarkan keputusan DPR. Harian Kompas, tanggal 8 Maret 2010, halaman 13. Jakarta.
Karyaatmaja, B. 2009. Makalah permasalahan penataan ruang kawasan hutan dalam rangka revisi RTRWP. Ditjen Planologi Kehutanan. Jakarta.
Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 24. tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang Tata Ruang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar