BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai
(DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan
sebaran proporsional. DAS merupakan
padanan drainage area, drainage basin, atau river basin dalam
bahasa Inggeris atau stroom gebied dalam bahasa Belanda. Batas DAS
dirupakan oleh garis bayangan sepanjang punggung pegunungan atau lahan
meninggi, yang memisahkan sistem aliran yang satu dengan sistem aliran
tetangganya. Atas dasar pengertian ini, maka secara teori semua kawasan darat
habis terbagi menjadi sejumlah DAS. Suatu DAS terbagi atas dua bagian utama,
yaitu daerah tadahan hujan (catchment area) yang membentuk daerah hulu
atau daerah “daerah kepala sungai” dan daerah penyaluran air yang berada di
bawah daerah tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi menjadi dua daerah,
yaitu daerah tengah dan daerah hilir (Notohadiprawiro, 2006).
Menurut Purwanto (2008), terminologi
‘DAS’ (Daerah Aliran Sungai) sering disalah artikan sebagai wilayah di
kiri-kanan (sempadan) sungai. Padalah yang dimaksud dengan DAS adalah daerah
yang dibatasi oleh batas topografi (punggung-punggung bukit) dimana air hujan
yang jatuh di permukaan bumi mengalir ke sungai-sungai kecil, kemudian ke
sungai utama menuju ke laut. DAS adalah sistem pembagian wilayah
non-administratif berdasarkan pola pengaliran air hujan/sungai, seluruh wilayah
daratan di muka bumi habis terbagi oleh batas DAS. Suatu unit DAS, terbagi
kedalam banyak (puluhan) Sub-DAS (anak-anak sungai) dan wilayah tangkapan
airnya (catchment area-nya) bisa meliputi beberapa kabupaten, propinsi
dan negara.
Sedangkan menurut UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air, yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai
suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal
dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Berdasarkan pengertian dari definisi
tersebut maka DAS merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai
komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia
dan aktivitasnya yang berada pada, dibawah, dan di atas tanah. Sekalipun
definisi atau pengertian DAS sama pada beberapa Peraturan Perundangan yang
berbeda (Kehutanan dan Sumberdaya Air), namun implementasi dan
pengejawantahannya dalam Pengelolaan DAS belum sama; sekaligus ini menjadi
masalah pertama yang harus dituntaskan agar platform dan mainframe setiap
kementerian, instansi, dan lembaga lainnya menjadi sama.
Daerah hulu DAS termasuk daerah hulu
DAS Musi merupakan daerah yang berperan sebagai daerah tangkapan hujan (catchment
area). Perhatian terhadap kegiatan manusia atau petani di daerah hulu DAS
Musi adalah pertanian tanaman kopi yang banyak ditanam dilereng-lereng
perbukitan, sehingga menjadi daerah yang potensial kritis. Indikator gejala ini
adalah melimpahnya air sungai yang berwarna keruh kecoklatan beberapa jam
setelah turun hujan. Permasalahan
utamanya adalah pertanaman kopi memiliki perakaran yang dangkal, sehingga tidak
mampu menahan guyuran hujan yang cukup deras. Hal ini diperparah jika lahan
pertanaman kopi tersebut mempunyai bagian yang terbuka tidak ditutupi tanaman,
sehingga makin besar volume air yang mengalir melalui permukaan tanah (run-off)
sambil mengikis tanah dan membawanya bersama aliran air tersebut ke dalam
aliran sungai, atau yang kita kenal sebagai erosi. Jika hal ini dibiarkan,
makin lama makin rendah tingkat kesuburan tanah di daerah tersebut, dan makin besarnya
kemungkinan terjadi banjir. Pada akhirnya petani dan kita semua yang akan
menanggung akibatnya.
Berdasarkan
uraian tersebut, maka sebaiknya dicari upaya pengelolaan di daerah hulu DAS
Musi guna mengoptimalkan pencegahan makin besarnya kerugian akibat pertanian
tanaman kopi di hulu DAS Musi tersebut.
B. Ruang
Lingkup Pengelolaan DAS
Untuk mencapai tujuan pengelolaan DAS, maka ruang
lingkup dari makalah ini meliputi :
1. Tantangan
Pengelolaan DAS
2. Pengelolaan Daerah DAS Hulu
3. Alternatif Pengelolaan DAS Hulu
4. Kendala
Pengelolaan DAS
C. Tujuan
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah mempelajari Alternatif Restorasi di DAS Hulu Sungai
Musi dalam Pengelolaan DAS yang berkelanjutan,
serta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh nilai pada mata
kuliah Pengelolaan DAS.
BAB II. PEMBAHASAN
A.
Tantangan Pengelolaan DAS
Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan
timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan
sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat
ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian
ekosistem DAS. Pengelolaan DAS pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna
lahan atau optimalisasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara
rasional serta praktek lainnya
yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci (ultimate
indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai pada titik pengeluaran
(outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu DAS adalah adanya keterkaitan
biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologi.
Berdasarkan indikator kunci dan
indikator lainnya (lahan, sosek dan kelembagaan) yang sudah ditetapkan maka
diketahui tingkat kerusakan DAS yang kemudian perlu ditetapkan prioritas
penanganannya. DAS-DAS Prioritas I adalah DAS-DAS yang prioritas pengelolaannya
paling tinggi karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek
DAS paling “kritis” atau “tidak sehat”. Prioritas II adalah DAS-DAS yang
prioritas pengelolaannya sedang, sedangkan DAS prioritas III dianggap kurang
prioritas untuk ditangani karena kondisi biofisik dan soseknya masih relatif
baik (tidak kritis) atau DAS tersebut dianggap masih “sehat” (Departemen
Kehutanan RI, 2008).
Jumlah
DAS Prioritas I (kritis) terus bertambah sejak 30 tahun yang lalu dari 22 DAS
tahun 1970 menjadi 36 DAS tahun 1980-an dan sejak tahun 1999 menjadi 60 DAS.
Peningkatan jumlah DAS Prioritas I tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan DAS
selama ini belum tepat sasaran. Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh
menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga
menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya
frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan
kekeringan pada musim kemarau. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di
Indonesia sekitar 50% luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang
tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-2005
sekitar 1,089 juta ha per tahun. Sedangkan lahan kritis dan sangat kritis masih
tetap luas yaitu sekitar 30.2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis
dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat
penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga
fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun (Departemen
Kehutanan RI, 2008).
Tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan
dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu
DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau
Jawa dan Bali. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang
rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan
papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi perambahan
hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan
kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS.
Tantangan
pengelolaan daerah aliran sungai ke depan sebagai mana disebutkan dalam
Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Di Indonesia (Departemen
Kehutanan RI. 2008) adalah :
1.
Degradasi hutan dan lahan,
2. Ketahanan Pangan, energi dan air,
3. Kesadaran dan kemampuan para pihak,
4. Otonomi Daerah, dan
5. Kebijakan Nasional.
Mengenai degradasi hutan dan lahan,
luas kawasan hutan pada tahun 2007 adalah sekitar 133,695 juta hektare (Badan
Planologi Kehutanan, tahun 2007) dan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 220
juta. Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan jumlah
penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan, papan dan energi.
Pengurangan areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk
bangunan akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran air
permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan tanah longsor semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu
DAS harus bisa direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang dilakukan
secara terpadu oleh semua pihak yang ada pada DAS dengan memperhitungkan
biofosik dan semua aspek sosial ekonomi.
Degradasi hutan dan
lahan selama kurun waktu 2000-2005 sangat memprihatinkan yaitu rata-rata 1,089
juta hektar per tahun. Degradasi di lahan pertanian terus terjadi akibat erosi
tanah yang tinggi sehingga memicu semakin luasnya lahan kritis dan meningkatnya
sedimentasi pada waduk-waduk yang akan berdampak pada berkurangnya daya tampung
dan pasokan air untuk irigasi serta Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Apabila tidak dilakukan upaya-upaya untuk
mencegah degradasi hutan dan lahan serta upaya untuk memulihkannya, maka DAS
akan semakin menurun kualitasnya. Karena itu pengelolaan DAS di masa yang akan
datang harus mampu mengkonservasi, merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas
hutan dan lahan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk terhadap barang dan jasa
lingkungan yang semakin meningkat.
B. Pengelolaan Daerah DAS Hulu
Maksud pengelolaan DAS adalah mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS sesuai dengan kemampuannya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berganti menurut waktu. Dalam ungkapan “sesuai dengan kemampuan” tersirat pengertian “sepadan dan lestari”. Dalam ungkapan “manfaat lengkap” dan “kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berganti menurut waktu” mengisyaratkan, bahwa :
1. hasil keluaran DAS tidak boleh hanya bermacam
tunggal, tetapi harus terdiri dari berbagai macam hasil keluaran yang
berkombinasi secara optimum, dan
2. rencana pengelolaan harus bersifat lentur yang
berisi sejumlah alternatif (Notohadiprawiro, 2006).
Pengelolaan daerah tadahan atau
daerah DAS hulu ditujukan untuk mencapai hal-hal berikut (Roy dan Arora, 1973 dalam
Notohadiprawiro, 2006) :
1. Mengendalikan aliran permukaan (runoff) turah (excess)
yang merusak, sebagai usaha mengendalikan banjir.
2. Memperlancar infiltrasi air ke dalam tanah.
3. Mengusahakan pemanfaatan aliran permukaan untuk maksud-maksud
yang berguna.
4. Mengusahakan semua sumber daya tanah dan air untuk
memaksimumkan produksi.
Sedangkan faktor-faktor yang
berdaya (affect) atas program pengelolaan daerah tadahan atau daerah DAS
hulu adalah :
1. Bentuk dan luas daerah tadahan
2. Lereng dan timbulan makro
3. Keadaan tanah, termasuk fisiografi dan hidrologi tanah
4. Intensitas, jangka waktu dan agihan curah hujan.
5. Rupa dan mutu vegetasi penutup
6. Penggunaan lahan kini.
“Eksploitasi” DAS hulu untuk
kepentingan DAS hilir dapat dikerjakan tanpa menimbulkan ketegangan sosial atau
ketidak-adilan sosial, apabila (Notohadiprawiro, 1981) :
1.
DAS
hulu ditutup sama sekali bagi pertanian rakyat
2. Hanya usaha-usaha atau bentuk penggunaan lahan yang memiliki daya
tahan hakiki (intrinsic survival mechanism) saja yang diperbolehkan
berada di DAS hulu, seperti hutan alam, hutan budidaya, dan perkebunan besar.
Menurut Purwanto (2008),
memperhatikan adanya hubungan hulu-hilir dalam ekosistem DAS, selayaknya
apabila biaya restorasi DAS tidak hanya dibebankan kepada masyarakat hulu,
melainkan harus ditanggung bersama. Mekanismenya bisa dalam bentuk biaya
kompensasi lingkungan (payment for environmental services) dari hilir ke
hulu. Sayangnya konsep ini masih sulit diimplementasikan.
Beberapa kasus yang dapat
dikategorikan memenuhi prinsip ini diantaranya adalah :
1. PT Inalum pertambangan timah yang memanfaatkan enerji dari PLTA
Asahan (Danau Toba), membayar retribusi untuk rehabilitasi DAS hulu yang masuk
wilayah administratif 4 kabupaten di Sumut;
2. Sejumlah persentase tertentu dari harga setiap tandan buah segar
kelapa sawit di Sumut dialokasikan untuk biaya perbaikan ekosistem hulu;
3. Perum Jasa Tirta I (Jatim) menyisihkan sebagian keuntungannya untuk
rehabilitasi DAS Brantas Hulu;
4. Perum Jasa Tirta II (Jabar) yang mengelola infrastruktur Bendungan
Jatiluhur menarik dana dari pemakai air (PLN dan PDAM) untuk pemeliharaan
prasarana dan rehabilitasi DAS hulu;
5. PT Krakatau Steel (melalui anak perusahaan PT Krakatau Tirta
Industri) memberikan kompensasi pendanaan dalam pemeliharaan resapan air di DAS
Cidanau, Banten;
6. Masyarakat pengguna air di daerah hilir memberikan kompensasi
pemeliharaan hutan di DAS Tondano, Sulut.
Hal ini sesuai dengan UU No.7
tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (DAS) yang antara lain menyebutkan, bahwa:
1. Pola pengelolaan dan rencana pengelolaan SDA
disusun berdasarkan wilayah sungai (DAS),
2. Prinsip keterpaduan antara air permukaan dan
air tanah,
3. Melibatkan masyarakat dan dunia usaha,
4.
Dasar adalah keseimbangan antara konservasi pendayagunaan SDA dan pengendalian
daya rusak air.
5. Penyelenggaraan SDA harus dilakukan secara utuh
dari hulu sampai hilir.
C.
Alternatif Pengelolaan DAS Hulu
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
alternatif lain dalam pengelolaan DAS di daerah hulu DAS Musi dapat saja
dilakukan dengan :
1. Mengganti
tanaman budidaya (kopi) yang berakar dangkal dengan tanaman yang dapat
mengendalikan aliran permukaan (runoff), sebagai usaha mengendalikan
banjir atau memperlancar infiltrasi air ke dalam tanah, contohnya penanaman
pohon Melinjo
Oleh kelompok tani Karya Muda
II dan Karya Muda III yang mendapat pembayaran jasa lingkungan (payment for
environmental services) dari PT Krakatau Tirta Industri.
2. Menutup DAS Hulu bagi pertanian atau
menghutankan DAS hulu, dengan hutan alam atau hutan budidaya (wanatani/
agroforestry),
3. Penanaman tanaman budidaya di dalam
pola tanam alley cropping (budidaya lorong), atau dalam upaya
penghijauan,
4. Kombinasi dari beberapa alternatif
yang ada. Dan lain-lain.
Kegiatan restorasi dan rehabilitasi tersebut menggunakan species
asli dan berpotensi terpilih untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan
terdegradasi sekaligus memanfaatkan spesies-spesies tumbuhan lokal/asli yang
berpotensi ekonomi secara berkelanjutan. Diharapkan manfaatnya bisa dirasakan
oleh masyarakat. Penanaman tumbuhan dilakukan di lahan-lahan yang terdegradasi
dan rawan longsor baik di kawasan lindung dengan menggunakan pendekatan
restorasi-konservasi, maupun kawasan non lindung dengan menggunakan pendekatan
ekonomi dan perbaikan kondisi lahan. Sebagai
contoh lainnya, di Pagar Alam petani sudah banyak yang menanam tanaman salak
menggantikan tanaman kopi. Dijadikannya salak menjadi komoditi unggulan karena
saat ini sudah banyak petani kopi sudah mulai beralih menjadi petani salak.
Selain itu massa panen salak tidak begitu lama dibandingkan tanaman kopi. Salak
bisa dipanen setiap hari sedangkan untuk kopi hanya bisa dipanen satu tahun
sekali (Wawan Septiawan, 2011). Tanaman salak dapat saja dijadikan tanaman
utama pada wanatani/ agroforestry (wikipedia, 2011). Tanaman lain yang
dapat ditanam misalnya, pohon Melinjo yang ditanam oleh kelompok tani Karya
Muda II dan Karya Muda III di Desa Citaman, Ciomas, Banten.
Kegiatan restorasi dilakukan pada
kawasan lindung di hulu DAS Cisadane, yaitu di ex Perhutani di resort Bedogol,
Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango seluas 4 Ha. Sedangkan kegiatan
rehabilitasi lahan dilakukan pada kawasan non-lindung di hulu DAS Citarum,
yaitu di Kampung Cipayung, Desa Girimukti, Kecamatan Cempaka, Cianjur meliputi
lahan masyarakat seluas kurang lebih 6 Ha (Jacko Agun, 2009).
D. Kendala Pengelolaan DAS
Pengelolaan DAS tidak lain dari pada kegiatan
penata-gunaan lahan dalam ruang lingkup DAS. Oleh karena itu pengelolaan DAS
akan selalu melibatkan manusia dengan manusia dengan kecakapannya mengalihkan
teknologi menjadi teknologi tepat guna dan keterampilannya menjabarkan
teknologi menjadi sejumlah piranti teknik yang mempan. Manusia itu juga menjadi
sumber kendala yang acap kali menjadi penghambat yang lebih berat daripada
kendala fisik. Kendala yang bersumber pada manusia antara lain : keprimitifan,
kepicikan motivasi, inersia kejiwaan, kekakuan dan keangkuhan birokrasi,
otorianisme dan kemiskinan (Notohadiprawiro, 2006).
Kendala yang bersumber pada
manusia tersebut selanjutnya bila diuraikan menjadi beberapa kendala dalam
pengelolaan DAS terpadu, sebagai berikut :
1. Perbedaan persepsi antar stakeholders, Ego sektoral dan ego kedaerahan
2. Sistem insentif dan disinsentif belum digunakan sebagai
perangkat kebijakan serta Kelembagaan
pengelolaan DAS belum mantap
3. Penerapan kriteria dan indikator tidak sama
4. Perencanaan tidak ada koordinasi dan sinkronisasi (parsia)
5. Keterbatasan sistem dan sumber penganggaran
6. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS lemah
BAB III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Maksud pengelolaan DAS adalah mendapatkan manfaat lengkap
yang sebaik-baiknya dari DAS sesuai dengan kemampuannya, untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berganti menurut waktu.
Pengelolaan DAS juga harus bersifat flexible yang berisi sejumlah
alternatif, Alternatif pengelolaan di daerah DAS hulu Musi dapat dilakukan
dengan :
1. mengganti tanaman budidaya (kopi) yang berakar dangkal dengan
tanaman yang dapat mengendalikan aliran permukaan (runoff), sebagai
usaha mengendalikan banjir atau memperlancar infiltrasi air ke dalam tanah,
2. Menutup DAS Hulu bagi pertanian atau menghutankan DAS hulu, dengan
hutan alam atau hutan budidaya (wanatani/ agroforestry),
3. Penanaman tanaman budidaya dengan pola tanam alley cropping (budidaya
lorong), atau dalam upaya penghijauan,
Pengelolaan DAS harus
melibatkan masyarakat dan dunia usaha sekalipun manusia menjadi sumber kendala
yang acapkali menjadi penghambat yang lebih berat daripada kendala fisik, serta
Biaya restorasi DAS tidak hanya dibebankan kepada masyarakat hulu, melainkan
harus ditanggung bersama.
Mekanismenya bisa dalam bentuk
biaya kompensasi lingkungan/pembayaran jasa lingkungan (payment for
environmental services) dari hilir ke hulu, terutama dunia usaha yang
memanfaatkan air sungai dan/atau membuang limbah ke sungai.
A.
Saran
Untuk tercapainya pembangunan DAS
yang berkelanjutan kegiatan pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan
harus diselaraskan. Dalam hal ini
diperlukan penyatuan kedua sisi pandang tersebut secara realistis melalui penyesuaian kegiatan
pengelolaan DAS dan konservasi daerah hulu ke dalam kenyataan-kenyataan ekonomi
dan sosial. Inilah tantangan formulasi kebijakan yang harus dituntaskan demi tujuan pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan RI. 2008.
Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Di Indonesia, Amanah Instruksi
Presiden No. 5 Tahun 2008 Tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009.
Jakarta.
Jacko agun. 2009. LIPI
restorasi dan rehabilitasi ekosistem DAS Citarum-Cisadane.
Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 2006.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Program Penghijauan. Kuliah Penataran
Perencanaan Pembangunan Pedesaan dan Pertanian Staf Departemen Pertanian di
Fakultas Pertanian UGM, 8-1-1981 s/d 4-3-1981. Repro Ilmu Tanah UGM (2006),
Jurusan Ilmu Tanah FP UGM. Yogyakarta.
Purwanto, E. 2008. Menggalang
Restorasi DAS Multi-Pihak. Makalah disampaikan pada Lokakarya “Membangun
Kesepahaman Multipihak dalam Pengelolaan DAS Konaweha”, Kendari, 16
Juli 2008.
Wawan Septiawan. 2011. Salak Jadi
Komoditi Kopi Mulai Ditinggalkan. Sriwijaya Post. Kamis, 8 Desember 2011.
http://palembang.tribunnews.com/ 2011/12/08/salak-jadi-komuditi-kopi-mulai-ditinggalkan.
Undang-Undang RI No 7 tahun
2004 tentang Sumberdaya Air.
Undang-Undang RI No 41 tahun
1999 tentang Kehutanan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Salak.
http://kdeeforester.blogspot.co.id/2009/02/pentingnya-pengelolaan-daerah-aliran.
html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar